Beranda | Artikel
Surat Al-Fajr – Tafsir Juz `Amma
Kamis, 5 Desember 2019

Tafsir Surat AlFajr

Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Surat Al-Fajr adalah surat makiyyah, dilihat dari isi surat tersebut. Karena diantara ciri-ciri surat makiyyah selain karena diturunkan sebelum Nabi berhjirah ke Madinah adalah pada umumnya surat-surat makiyyah terdiri dari ayat-ayat yang pendek. Sebagaimana rangkaian-rangkaian ayat dari surat Al-Fajr. Berbeda dengan surat madaniyyah, pada umumnya terdiri dari ayat-ayat yang panjang. Ciri lainnya adalah dilihat dari topik pembahasannya yang berbicara tentang adanya hari kebangkitan, hari kiamat, adanya penghuni neraka jahannam dan penghuni surga yang mana merupakan ciri-ciri surat makiyyah. Selain itu surat Al-Fajr berkaitan dengan surat sebelumnya yaitu surat Al-Ghasyiyah, dimana surat Al-Ghasyiyah berbicara tentang ancaman untuk orang kafir kemudian Al-Fajr berbicara tentang siksaan untuk orang kafir.

Allah berfirman pada permulaan surat:

  1. وَالْفَجْرِ

“Demi fajar”

Ada dua pendapat di kalangan para ulama tentang makna al-fajr. Pendapat pertama, al-fajr adalah waktu dimana gelapnya malam mulai sirna diganti dengan cahaya yang perlahan mulai keluar yang dikenal dengan waktu shubuh. Allah bersumpah dengan al-fajr karena merupakan waktu yang sangat penting.

Pendapat kedua, maksud Allah bersumpah demi waktu fajar adalah demi shalat fajar yaitu shalat subuh. Allah bersumpah dengan shalat shubuh karena shalat shubuh merupakan shalat yang sangat penting yang sering dilalaikan oleh banyak kaum muslimin. Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللهِ

“Barangsiapa yang shalat shubuh (secara berjamaah) maka dia di bawah penjagaan Allah.” (HR Muslim no. 657)

Dalam hadist yang lain Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى البَرْدَيْنِ دَخَلَ الجَنَّةَ

Barangsiapa yang shalat di dua waktu yang dingin niscaya masuk surga.” (HR Bukhari no. 574 dan Muslim no. 635)

Kata para ulama, البَرْدَيْنِ  adalah shalat shubuh dan shalat ashar. Dikatakan shalat yang dingin karena shubuh merupakan awal dari hari dan udaranya masih dingin, sedangkan ashar waktu peralihan dari siang ke malam, perlahan-lahan panasnya siang beralih menjadi dinginnya malam.

Al-Khotthoobi berkata :

وَإِنَّمَا قِيْلَ لَهُمَا: بَرْدَانِ، وَأَبْرَدَانِ لِطِيْبِ الْهَوَاءِ، وَبَرْدِهِ فِى هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ

“Hanyalah sholat Ashar dan shalat Subuh dikatan “dua yang dingin” karena udaranya yang baik dan sejuk di kedua waktu ini” (Syarh Shahih Al-Bukhari, Ibnu Batthool 2/199)

Rasulullah menjanjikan surga karena dua shalat inilah yang sering dilalaikan oleh kaum muslimin. Shalat shubuh terlalaikan karena banyak orang yang tenggelam dalam nikmatnya tidur, sedangkan shalat ashar terlalaikan karena kebanyakan orang letih setelah bekerja sepanjang hari lalu tidur dan melewatkan shalat ashar. Atau karena sebagian orang di waktu ashar masih saja sibuk bekerja dan mengurus dunia sehingga terlewatkan sholat ashar (lihat Ihkaamul Ahkaam, Ibnu Ad-Daqiiq 1/172)

Hal ini sebagaimana sabda Nabi :

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ، كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ، لاَ تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا

“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, kalian tidak berdesak-desakan dalam melihatNya. Maka jika kalian mampu untuk tidak terlewatkan dalam melaksanakan sholat sebelum terbit matahari (yaitu sholat subuh) dan sholat sebelum terbenam matahari (yaitu sholat ashar) maka lakukanlah”(HR Al-Bukhari no 554 dan Muslim no 633)

Sehingga dari sini sebagian ulama memilih pendapat bahwasanya Allah bersumpah dengan shalat fajar karena shalat lah yang harus diperhatikan. Kedua pendapat ini kuat tetapi pendapat yang lebih kuat adalah Allah bersumpah dengan waktu fajar itu sendiri (lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/381 dan Fathul Qodiir 5/526). Sebagaimana Allah banyak bersumpah dengan waktu-waktu, hal ini banyak dijumpai pada permulaan surat-surat di Juz ‘Amma.

Sebagian ulama memberikan alasan mengapa Allah besumpah dengan waktu fajar. Diantaranya :

Kemudian Allah berfirman:

  1. وَلَيَالٍ عَشْرٍ

“Demi malam-malam yang sepuluh”

Terkait makna ‘malam-malam yang sepuluh’, ulama juga terbagi ke dalam dua pendapat. Pendapat pertama sekaligus pendapat mayoritas bahwa malam-malam yang dimaksudkan adalah hari-hari 10 Dzulhijjah. Dan dalam bahasa Arab terkadang ”hari” disebut dengan malam (lihat Tafsir Juz Ámma, Ibnu al-Útsaimin hal 188)

Pendapat kedua bahwa yang dimaksudkan adalah 10 malam terakhir di bulan Ramadhan. Allah bersumpah dengan 10 malam terakhir bulan ramadhan karena malam-malam tersebut adalah malam yang mulia, diantaranya ada malam lailatul qadar yang lebih baik dari seribu bulan. Yang menguatkan pendapat ini adalah Allah menyebut dalam ayat ini lafal “lail”yang artinya secara asal bahasa Arab adalah malam dan bukan siang atau hari. (dan inilah pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu al-Útsaimin)

Adapun pendapat jumhur (dan inilah pendapat yang dipilih oleh At-Thobari dalam tafsirnya 24/348) yaitu 10 hari Dzulhijjah, Allah bersumpah dengannya karena amalan yang dilakukan pada 10 hari Dzulhijjah adalah amalan yang sangat dicintai oleh Allah. Dalam suatu hadist Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّوَجَلَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ، يَعْنِيْ أَيَّامَ الْعَشْرِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ؟ قَالَ: “وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ

“Tidak ada hari-hari dimana suatu amal shalih lebih di cintai Allah melebihi amal shalih yang dilakukan di hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama Dzulhijjah)”. Para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad di jalan Allah?” Nabi ٍShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk lebih utama dibanding jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (kemedan jihad) dan dia tidak kembali dengan apapun sama sekali (yaitu jiwanya tidak kembali yaitu dia mati syahid dan hartanya juga tidak kembali karena dirampas musuh-pen).” (HR Bukhari no. 969)

Sama saja apakah kita menguatkan pendapat pertama atau pendapat kedua maka keduanya (baik 10 hari pertama Dzulhijjah atau 10 malam terakhir Ramadhan) adalah waktu yang agung untuk beribadah dan meraih pahala sebanyak-banyaknya. Kita jumpai sebagian besar kaum muslimin -terutama di tanah air- memusatkan konsentrasi mereka pada 10 malam terakhir Ramadhan, namun banyak diantara mereka kurang memperhatikan 10 hari Dzulhijjah, padahal keutamaan 10 hari Dzulhijjah besar sebagaimana dalam hadits sebelumnya. Oleh karena itu, ketika memasuki bulan Dzulhijjah maka hendaknya kita memperbanyak ibadah kepada Allah dengan ibadah apa saja, mulai dari shalat, puasa, dzikir, baca Al-Quran, sedekah, dan lain-lainnya.

Kemudian Allah berfirman:

  1. وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ

“Demi yang genap dan yang ganjil”

Dalam qiroat yang lain dengan mengkasroh huruf وِ yaitu وَالْوِتْرِ. Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah Allah bersumpah dengan segala sesuatu yang genap dan segala sesuatu yang ganjil. Dan ini merupakan pendapat yang dipilih oleh At-Thobari dalam tafsirnya (Tafsir At-Thobari 24/355). Karenanya dijumpai banyak pendapat dari kalangan salaf yang menyebutkan tentang makna genap dan ganjil.

Diantara pendapat dari kalangan para ahli tafsir masa salaf adalah Allah bersumpah dengan shalat-shalat yang rakaatnya genap yaitu shalat dhuhur, shalat ashar, shalat isya’, dan shalat shubuh, dan Allah bersumpah dengan shalat rakaatnya ganjil yaitu shalat maghrib.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa genap adalah yaumun nahr yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah merupakan tanggal yang genap, dan ganjil adalah hari arafah yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah merupakan tanggal yang ganjil.

Ada pula yang mengatakan bahwa genap adalah seluruh makhluk sedangkan ganjil maksudnya Allah (lihst Tafsir At-Thobari 24/350) Karena dalam sebuah hadist, Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ

Sesungguhnya Allah itu Witr (yaitu Maha Esa) dan menyukai yang witr (ganjil).” (HR Bukhari no. 6410 dan Muslim no. 2677)

Sedangkan makhluk Allah diciptakan dalam keadaan genap yaitu berpasang-pasangan. Allah berfirman :

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kalian mengingat kebesaran Allah” (QS Adz-Dzariyaat : 49)

وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا

“Dan Kami menciptakan kalian berpasang-pasangan”(QS An-Naba’: 8)

Sebagaimana yang bisa disaksikan di alam semesta ini semuanya berpasang-pasangan, ada kematian ada kehidupan, ada buta ada melihat, ada atas bawah, ada jantan ada betina, ada positif ada negatif, ada iman dan kufur, ada petunjuk dan kesesatan, ada Iblis dan Jibril, dll. Adapun Allah maka Dia Ada tanpa membutuhkan pasangan.

Kemudian Allah berfirman:

  1. وَاللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ

“Demi malam apabila berlalu”

يَسْرِ dalam bahasa arab mempunyai dua kemungkinan makna. Bisa bermakna أَقْبَلَ الَّيْلُ yang artinya malam yang datang, bisa bermakna الَّيْلُ أَدْبَرَ artinya malam yang pergi  (lihat Tafsir al-Baghowi 8/417). Namun sebagian ulama merajihkan pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah malam apabila datang. Alasan mereka adalah karena di ayat pertama Allah telah bersumpah dengan waktu fajar yang berarti malam pergi kemudian disusul dengan datangnya cahaya. Sebaliknya pada ayat ini Allah bersumpah dengan waktu tatkala cahaya pergi disusul dengan datangnya malam.

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “malam”di sini adalah malam khusus yaitu malam Muzdalifah. Ini adalah pendapat ulama yang memandang bahwa sumpah-sumpah di awal surat al-Fajar semuanya berkaitan dengan manasik haji. “Demi fajar” maksudnya adalah “fajar hari Nahar 10 Dzulhijjah”, demi “malam-malam yang sepuluh” maksudnya “10 hari Dzulhijjah”, “Demi yang genap dan yang ganjil” maksudnya adalah hari Nahar (10 Dzulhijjah) dan hari Árofah (9 Dzulhijjah), “Demi malam yang berlalu”maksudnya adalah “malam Muzdalifah”. Namun al-Qurthubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan malam dalam ayat ini adalah bersifat umum bukan khusus malam Muzdalifah saja (Lihat Tafsir al-Qurthubi 20/42)

Kemudian Allah berfirman:

  1. هَلْ فِي ذَٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِي حِجْرٍ

“Adakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) bagi orang-orang yang berakal?”

ذِيْ حِجْرٍ yaitu ذِيْ عَقْلٍ yang memiliki akal (Lihat Tafsir At-Thobari 24/3580. حِجْرٍ artinya membatasi, karena seseorang yang menjaga akalnya akan terbatasi dari melakukan hal-hal yang buruk dengan akalnya (lihat Tafsir al-Baghowi 8/417). Disebut juga  عِقَالٌ yang artinya menahan, karena akal yang benar akan menahan seseorang dari perbuatan yang buruk dan dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela dan tidak senonoh.

Dari empat ayat ini, Allah bersumpah dengan 5 perkara, وَالْفَجْرِ, وَلَيَالٍ عَشْرٍ, وَالشَّفْعِ, وَالْوَتْرِ, وَاللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ. Namun Allah tidak menyebutkan Allah bersumpah untuk apa (al-muqsam ‘alaih). Kata para ulama, hal tersebut karena perkara yang ingin Allah tekankan telah dimaklumi. Seakan-akan Allah ingin mengatakan, “Demi fajar, sungguh kalian wahai kaum musyirkin benar-benar akan diadzab.” Karena surat Al-Fajr diturunkan berkaitan dengan orang-orang Quraisy Makkah yang mengingkari hari kebangkitan dan hari pembasalan. Karenanya setelah itu Allah menceritakan tentang kaum-kaum yang dibinasakan oleh Allah. (lihat Tafsir al-Baidhoowi 5/309)

Di akhir-akhir surat Al-Ghasyiyah Allah mengancam orang-orang kafir dengan adzab dan siksaan-Nya. Lalu pada surat Al-Fajr Allah menceritakan beberapa kaum yang dibinasakan oleh Allah, seakan-akan Allah ingin mengabarkan kepada kaum musyrikin Arab bahwa ada kaum yang lebih hebat dari mereka tetapi Allah membinasakannya. Allah menyebutkan tentang tiga kaum, Pertama kaum ‘Ad, kedua kaum Tsamud, ketiga Firaun dan kaumnya.

Kaum ‘Ad dan kaum Tsamud adalah bangsa yang dahulunya tinggal di jazirah arab. Kaum ‘Ad tinggal di daerah selatan Jazirah Arab di al-Ahqoof, letaknya di Yaman antara Óman dan Hadromaut (lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/390). Sekarang yang bersisa tinggal gurun pasir, rumah-rumah mereka telah tertutupi dengan padang pasir. Adapun kaum Tsamud (kaum Nabi Shalih) sampai sekarang masih ada bekas-bekas peninggalan mereka. Kaum ‘Ad dan kaum Tsamud termasuk Arab Ba’idah yaitu bangsa arab kuno yang telah dimusnahkan oleh Allah. Sehingga berita tentang mereka telah diketahui oleh orang-orang kafir Quraisy bahwasanya mereka adalah kaum-kaum yang  hebat.

Adapun berita tentang Firaun dan bagaimana ia dibinasakan oleh Allah adalah berita yang masyhur di kalangan orang-orang Yahudi. Sering pula kaum Yahudi menceritakan tentang kisah Nabi Musa dan Firaun karena orang-orang yahudi sangat membanggakan Nabi Musa, sehingga kisah-kisah itu sampai pada tetangganya yaitu kaum musyrikin Arab. Oleh karena itu, Allah hanya menceritakan kisah-kisah yang telah diketahui oleh kaum musyrikin Arab, dua kaum yang berasal dari jazirah Arab itu sendiri dan satunya tentang kaum yang mereka dengar dari Yahudi. Allah menceritakan kaum-kaum yang lebih hebat dari mereka namun karena kesombongan dan kecongkakan, kaum-kaum tersebut dibinasakan oleh Allah dengan ditimpakannya adzab di dunia sebelum adzab di akhirat.

Kemudian Allah berfirman tentang kaum ‘Ad:

  1. أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ

“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) ‘Aad?”

Kaum ‘Aad adalah kaum Arab kuno yang diutus kepada mereka Nabi Hud. Allah berfirman:

وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۚ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Dan kepada kaum ‘Aad (Kami utus) Hud, saudara mereka. Dia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sesembahan) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa?’” (QS Al-A’raf : 65)

Akan tetapi kaum ‘Ad adalah kaum yang sombong lagi angkuh. Mereka diberi kekuatan oleh Allah tetapi digunakan untuk semakin ingkar kepada Allah. Allah berfirman tentang perkataan Nabi Hud:

وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِن بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً ۖ فَاذْكُرُوا آلَاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Ingatlah ketika Dia menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kalian dalam kekuatan tubuh dan perawakan. Maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah agar kalian beruntung.” (QS Al-A’raf : 69)

Firman Allah “dan Dia lebihkan kalian dalam kekuatan tubuh dan perawakan” setelah Allah menyebutkan tentang kaum Nuh, menunjukan bahwa Kaum ‘Aad memiliki tubuh yang lebih besar daripada tubuh kaum Nuh. Namun seberapa tingginya ? Wallahu A’lam. Memang dalam sebagian buku tafsir disebutkan bahwasanya tinggi kaum ‘Ad adalah sekitar 300 hasta atau 150 meter. Namun hal ini dibantah oleh para ulama -diantaranya Ibnu Katsir- karena manusia yang paling tinggi adalah Nabi Adam ‘alaihis salam yang memiliki tinggi 60 hasta atau sekitar 30 meter. Kemudian manusia-manusia yang datang setelahnya semakin berkurang tingginya hingga manusia zaman sekarang. Manusia akan kembali ditinggikan sebagaimana Nabi Adam setelah ia memasuki surga.

Nabi bersabda :

خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا، … فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ، فَلَمْ يَزَلِ الخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الآنَ

“Allah menciptakna Adam tingginya 60 hasta….maka semua yang masuk surga sesuai bentuk Nabi Adam, dan senantiasa manusia berkurang (tingginya) hingga sekarang” (HR Al-Bukhari no 3326 dan Muslim no 2841)

Kemudian Allah berfirman:

  1. إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ

“(Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi”

Terdapat khilaf diantara para ulama tentang makna Iram. Sebagian mengatakan bahwa Iram adalah nama kota yang ditinggali kaum ‘Aad. Sebagian yang lain mengatakan Iram adalah nama kakeknya kaum ‘Aad dan bukan nama kota, sebagaimana pendapat Ibnu Ishaq yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari di dalam tafsirnya dan dinukil oleh Al-Hafidz Ibnu Katsir di dalam tafsirnya. Jadi, ‘Ad adalah suatu kaum yang terdiri atas beberapa kabilah yang kembali pada عادٌ بن إِرَمَ بن عَوَضٍ بن سَامٍ بن نُوْحٍ ‘Aad bin Iram bin ‘Awadl bin Saam bin Nuh, sehingga ada empat generasi dari kaum ‘Ad sampai Nabi Nuh.

Ikrimah berkata :

كَانَ بَيْنَ آدَمَ وَنُوحٍ عَشْرَةُ قُرُونٍ، كُلُّهُمْ عَلَى الْإِسْلَامِ

‘’Antara Adam dan Nuh sepuluh kurun/generasi, semuanya di atas Islam” (Tafsir At-Thobari 23/303)

Dan القَرْنُ bias artinya kurun yaitu 100 tahun, dan bisa juga artinya generasi (lihat Qoshosh al-Anbiyaa hal 75), sehingga umur setiap generasi antara Adam dan Nuh tidak ada yang mengetahuinya, karena lama Nabi Nuh saja berdakwah adalah 950 tahun yang ini menunjukan bahwa generasi Nabi Nuh usia mereka lebih dari 950 tahun. Ini menunjukan bisa jadi jarak antara Adam dan Nuh ribuan tahun, dan demikian juga jarak antara Nuh dan Hud (kaum Áad).

Imaad dalam bahasa Arab artinya tinggi. Para ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksudkan dengan tinggi. Pendapat pertama, maksud dari ذَاتِ الْعِمَادِ adalah mereka memiliki tubuh yang tinggi, sebagaimana para ulama sepakat bahwa kaum ‘Aad diberi tubuh yang besar.

Pendapat kedua, maksud dari ذَاتِ الْعِمَادِ adalah orang-orang yang tinggal di padang pasir di dalam kemah-kemah yang terbuat dari tiang-tiang yang tinggi. Sehingga secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa tubuh mereka juga tinggi. Jika mereka berpindah tempat maka mereka akan mengangkat kemah-kemah mereka.

Pendapat ketiga, maksud dari ذَاتِ الْعِمَادِ adalah kaum yang memiliki tempat tinggal dari bangunan-bangunan yang tinggi. Pendapat ini adalah pendapat terkuat. Adapun pendapat yang menyatakan bahwasanya mereka tinggal di kemah-kemah yang berpindah-pindah maka pendapat ini kurang kuat, karena Allah sebutkan ketika Allah membinasakan mereka dengan mengirimkan angin maka rumah-rumah mereka tetap kokoh.

Ketika kaum ‘Ad diberi tubuh yang kuat mereka lantas sombong dan angkuh. Allah berfirman:

فَأَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً ۖ

“Maka adapun kaum ‘Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan merek berkata, ‘Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?’” (QS Fushshilat : 15)

Saking kuatnya sampai-sampai disebutkan dalam sebagian riwayat ahli tafsir, apabila mereka marah kepada suatu kampung, salah seorang dari kaum ‘Ad sanggup menghancurkan kaum tersebut dengan sekali lemparan batu besar sehingga mati semualah penduduknya. Allah pun membantah mereka dengan mengatakan:

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ

“Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (QS Fushshilat : 15)

Maka Allah pun mengirim angin yang datang dari kejauhan seperti awan gelap yang mereka kira adalah hujan biasa. Allah berfirman:

فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُّسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَٰذَا عَارِضٌ مُّمْطِرُنَا ۚ بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُم بِهِ ۖ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ (24) تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَىٰ إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ (25)

“(24) Maka ketika mereka melihat adzab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, mereka berkata, ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita.’ (Bukan!) Tetapi itulah adzab yang kamu minta agar disegerakan datangnya (yaitu) angin yang mengandung adzab yang pedih; (25) yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, sehingga mereka (kaum ‘Ad) menjadi tidak tampak lagi (di bumi) kecuali hanya (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (QS Al-Ahqaf : 24-25)

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ (6) سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَىٰ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ (7)

“(6) Sedangkan kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin; (7) Allah menimpakan angin kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (QS Al-Haqqah : 6-7)

Mereka adalah kaum yang memiliki badan yang besar dan kuat. Akan tetapi mereka malah bertambah sombong dan merasa paling kuat kuat. Akhirnya Allah mengirimkan angin untuk menghinakan mereka. Padahal mereka telah berlindung di gunung-gunung, bersembunyi di dalam goa-goa, akan tetapi angin tersebut bisa mencabut mereka dari dalam goa kemudian menerbangkan mereka di udara. Meskipun tubuh mereka sangat besar dan kuat akan tetapi mereka diombang-ambingkan oleh angin yang sangat dingin dan bersuara sangat keras selama 8 hari. Setelah itu anginpun menjatuhkan mereka ke daratan dengan kepala terlebih dahulu yang jatuh sehingga hancur kepala mereka. Karena itulah Allah menyamakan mereka seperti batang kurma yang telah kosong yaitu tanpa kepala (lihat Tafsir Ibnu Katsir 6/139).

Dalam ayat yang lain :

كَأَنَّهُمْ أَعْجازُ نَخْلٍ مُنْقَعِرٍ

“Seakan-akan mereka batang kurma yang terlobangi” (QS Al-Qomar : 20)

Firman Allah مُنْقَعِرٍ (yang terlobangi) menunjukan bahwa angin telah menghantam mereka sehingga terbelah perut mereka dan bertebanglah usus-usus dan jantung mereka keluar maka jadilah mereka mayat-mayat yang kosong isinya (Lihat At-Tahriir wa at-Tanwiir 27/194)

Kaum ‘Aad yang begitu sombong dengan kekuatan tubuh mereka ternyata dibinasakan oleh Allah hanya dengan udara.

Kemudian Allah berfirman:

  1. الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ

“Yang belum pernah diciptakan seperti itu di negeri-negeri lain”

Ada dua pendapat ulama tentang apa yang dimaksudkan dengan tidak pernah diciptakan semisalnya. Pendapat pertama mengatakan yang dimaksudkan adalah bangunan. Bangunan mereka sangat canggih sehingga tidak pernah ada bangunan selain milik kaum ‘Ad yang lebih canggih.

Pendapat kedua mengatakan yang dimaksudkan adalah kaum ‘Ad itu sendiri. Bahwasanya Allah tidak pernah menciptakan manusia yang kuat seperti kaum ‘Ad. Dan ini adalah pendapat yang lebih kuat. Karenaيُخْلَقْ  (diciptakan) lebih tepat untuk menunjukkan penciptaan manusia, adapun jika yang dimaksudkan adalah bangunan maka akan lebih tepat jika memakai kata يُبْنَى (dibangun), sehingga secara bahasa lebih kuat pendapat kedua, yaitu Allah tidak pernah menciptakan manusia yang kuat sebagaimana kaum ‘Aad.

Adapun cerita-cerita yang beredar bahwa ada orang yang pernah menemukan kota kaum ‘Aad, dimana jembatannya terbuat dari emas, bangunan dan rumah-rumahnya terbuat dari emas dan perak, maka kata Al-Hafidz Ibnu Katsir, ini semua adalah khurafatnya Bani Israil. Riwayat-riwayat yang menceritakan tentang itu tidak shahih, meskipun benar bahwasanya mereka memiliki bangunan-bangunan yang tinggi namun tidak sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat-riwayat tersebut.

Kemudian Allah menyebutkan kaum yang kedua, Allah berfirman:

  1. وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ

“Dan (terhadap) kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah”

Yaitu mereka melobangi batu-batu besar seperti gunung untuk dijadikan sebagai tempat tinggal mereka. Yang batu-batu yang besar ibarat gunung itu letaknya di lembah. Yaitu wadi “al-Quroo”, yang letaknya sekarang di sebuah kota Namanya al-‘Ula, sekitar 300 km sebelah utara kota Madinah.

Kaum Tsamud juga termasuk kaum yang kuat. Allah menghancurkan kaum Tsamud dengan suara yang menggelegar. Namun rumah-rumah mereka tidak hancur, bahkan sampai sekarang masih ada. Mengunjungi tempat-tempat seperti itu diperbolehkan tetapi hendaknya untuk mengambil pelajaran. Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

لاَ تَدْخُلُوا مَسَاكِنَ الَّذِينَ ظَلَمُوا إِلاَّ أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، أَنْ يُصِيبَكُمْ مَا أَصَابَهُمْ

“Janganlah kalian memasuki tempat tinggal orang-orang yang dzalim, kecuali sambil menangis. Karena apa yang menimpa mereka bisa menimpa kalian.” (HR Ahmad 5466 dan Bukhari 4419)

Maka lihatlah bagaimana gunung-gunung yang dipahat oleh mereka untuk dijadikan rumah, di dalamnya ada kamar-kamar, dipan-dipan, menunjukkan akan kekuatan mereka dan kecerdasan yang diberikan oleh Allah dalam masalah menghias dan mengukir gunung. Tetapi karena kesombongan mereka setelah diberi kelebihan oleh Allah, mereka akhirnya dibinasakan oleh Allah.

Kemudian Allah menyebutkan kaum yang ketiga, Allah berfirman:

  1. وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ

“Dan (terhadap) Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (bangunan yang besar)”

الْأَوْتَادِ adalah tali-tali yang dipasang untuk mengikat sesuatu seperti orang yang sedang membangun kemah kemudian menggunakan tali pengikat untuk mengokohkannya. Ada 3 pendapat di kalangan para ulama tentang makna tali-tali tersebut.

Pendapat pertama mengatakan dahulu Firaun mengadzab Bani Israil dengan cara mengikat mereka dengan tali ke tangan dan kaki mereka kemudian menarik tali-tali tersebut. Sehingga Firaun dikenal sebagai pemilik tali-tali untuk menyiksa kaum Bani Israil.

Pendapat kedua mengatakan yang dimaksudkan adalah tali-tali dan pasak-pasak yang besar yang dipasang oleh Firaun untuk meninggikan payung-payung besar yang dibuat oleh oleh Fir’aun untuk menaungi lapangan atau lokasi untuk bermain-main.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa makna الْأَوْتَادِ pada ayat ini artinya pasukan. Yaitu Fir’aun memasang besi di tangan dan kaki mereka (lihat ketiga pendapat ini di Tafsir At-Thobari 24/370-372).

Firaun memiliki pasukan yang banyak lalu mengerahkan semuanya dan memerintahkannya mengejar Nabi Musa. Bahkan menteri-menterinya semuanya dikerahkan untuk ikut serta mengejar Nabi Musa. Pada akhirnya Allah menghancurkan semuanya.

Kemudian Allah berfirman:

  1. الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ

“Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri”

Mereka semua yaitu kaum ‘Ad, kaum Tsamud, dan kaum Firaun telah melampaui batas, berbuat kedzaliman di negeri-negeri, melanggar larangan Allah dan sombong di atas muka bumi.

  1. فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ

“Lalu mereka banyak berbuat kerusakan dalam negeri itu”

Akhirnya mereka melakukan banyak kerusakan. Karena seseorang yang sombong dan sewenang-wenang biasanya akan menimbulkan kerusakan.

  1. فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ

“Karena itu Tuhanmu menuangkan cemeti adzab kepada mereka”

Karena mereka banyak melakukan kerusakan maka Allah berikan adzab kepada mereka yaitu adzab di dunia sebelum di akherat kelak akan ditimpakan adzab lagi yang lebih berat. Allah memberi ungkapan dengan “cemeti” yang menunjukan adzab yang Allah timpakan kepada mereka adalah ringan dibandingkan dengan adzab yang akan mereka terima di akhirat. Allah hanya mengirim angin untuk memporak-porandakan kaum ‘Ad, Allah hanya mengadzab dengan suara yang menggelegar untuk kaum Tsamud, dan Allah hanya menjadikan laut menutup Fir’aun dan bala tentaranya. Ini semua adalah adzab yang mudah bagi Allah.

Firaun dan kaumnya diadzab oleh Allah dengan cara ditenggelamkan oleh Allah. Allah memerintahkan Musa untuk memukulkan tongkatnya. Dalam Al-Quran Allah berfirman:

وَلَقَدْ أَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقًا فِي الْبَحْرِ يَبَسًا لَّا تَخَافُ دَرَكًا وَلَا تَخْشَىٰ

“Dan sungguh telah Kami wahyukan kepada Musa, ‘Pergilah bersama hamba-hamba-ku (Bani Israil) pada malam hari, dan pukullah (buatlah) untuk mereka jalan yag kering di laut itu, (engkau) tidak perlu takut akan tersusul dan tidak perlu khawatir (akan tenggelam)’.” (QS Thaha : 77)

Setelah Musa memukulkan tongkatnya maka terbukalah laut merah, seketika permukaan tanahnya menjadi kering sehingga mudah untuk dipijak. Disebutkan bahwa laut tersebut terbelah menjadi 12 jalur karena bani Israil ada 12 suku, dan masing-masing jalur tersebut dibatasi oleh lautan  yang naik menjulang seperti gunung akan tetapi lautan tersebut masih ada celah-celahnya seperti jarring-jaring yang berlobang sehingga setiap suku masih bisa melihat suku yang lain dan memastikan bahwa semuanya selamat. Setelah Nabi Musa berhasil melewatinya, Nabi Musa ingin memukulkan tongkatnya kembali agar lautnya tertutup. Namun Allah menegurnya, Allah berfirman:

فَأَسْرِ بِعِبَادِي لَيْلًا إِنَّكُم مُّتَّبَعُونَ (23) وَاتْرُكِ الْبَحْرَ رَهْوًا ۖ إِنَّهُمْ جُندٌ مُّغْرَقُونَ (24)

“(23) (Allah berfirma), ‘Karena itu berjalanlah dengan hamba-hamba-Ku pada malam hari, sesungguhnya kamu akan dikejar; (24) dan biarkanlah laut itu terbelah. Sesungguhnya mereka, bala tentara yang akan ditenggelamkan’.” (QS Ad-Dukhan : 23-24)

Nabi Musa pun tidak jadi memukulkan tongkatnya dan membiarkan lautannya tetap terbuka. Akhirnya dalam keadaan laut yang masih terbelah, Firaun pun melanjutkan pengejarannya terhadap Nabi Musa setelah sebelumnya ia ragu, namun Fir’aun terpaksa menyabarkan dirinya di hadapan para pembesarnya -ia jaga gengsi- setelah itu ia meyakinkan pasukannya untuk masuk menyeberangi lautan. Namun ketika Firaun dan pasukannya seluruhnya telah berada di tengah laut, Nabi Musa pun memukulkan tongkatnya. Laut pun tertutup kembali atas izin Allah dan Allah membinasakan mereka semua. (lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/254)

Allah menggunakan ibarat صَبَّ “menuangkan” sebagai kiasan seperti tertuangnya air yang terus menerus kepada seseorang yang sedang mandi dan sebagaimana air hujan yang tertuangkan ke atas muka bumi. Yang hal ini menunjukan bahwa adzab yang menimpa mereka sekali tahapan saja, cepat, dan datang dengan tiba-tiba. Kaum ‘Aad melihat angin seperti awan dan menyangka itu adalah karunia ternyata adzab. Kaum Tsamud tidak tahu adzab apa yang akan menimpa mereka ternyata suara yang sangat keras yang mencabut nyawa mereka. Fir’aun dan bala tentaranya masuk di tengah lautan yang terbuka dan tidak menduga ternyata lautan tersebut tiba-tiba menenggelamkan mereka. (Lihat At-Tahriir wa At-Tanwiir 30/322)

Kemudian Allah berfirman:

  1. إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ

“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi”

Ini adalah peringatan terhadap kaum musyrikin Arab agar tidak sombong dan angkuh yang bisa menjadi penyebab ditimpakannya adzab Allah di dunia sebelum di akhirat. Allah mengingatkan mereka akan kejadian yang menimpa kaum ‘Ad, kaum Tsamud, Firaun dan bala tentaranya karena kesombongan mereka. Karena Allah mengawasi amal perbuatan mereka, kekufuran dan kesombongan mereka, tidak ada satu amalan merekapun yang luput dari pengawasan Allah (lihat Fathul Qodiir 5/531)

Kemudian Allah menyebutkan sifat orang-orang kafir, Allah berfirman:

  1. فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ

“Maka adapun manusia apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku’”

  1. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

“Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah menghinakanku’”

Para ulama memberikan kaedah, jika disebutkan kata الْإِنسَانُ di dalam surat makiyyah maka itu maksudnya adalah orang kafir, kecuali ada dalil yang memalingkannya. Bahkan sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa kedua ayat ini turun tentang Umayyah bin Kholaf al-Jumahi (Lihat Tafsir As-Sm’aani 6/221)

Dua ayat ini adalah gambaran pola pikir orang kafir, jika diberi rezeki mereka merasa dimuliakan tetapi jika rezekinya disempitkan mereka merasa dihinakan. Mereka menjadikan barometer pemuliaan dan penghinaan pada harta. Adapun orang beriman tidaklah demikian, orang beriman akan merasa dimuliakan jika diberi taufik untuk beribadah kepada Allah. Mereka menjadikan barometer pemuliaan dengan ketaatan dan barometer penghinaan dengan kemaksiatan. (Lihat Tafsir As-Sama’aani 6/221 dan Tafsir Al-Qurthubi 8/421) Jika dia rajin shalat, rajin bershadaqah, rajin beribadah, itu artinya Allah memuliakannya. Namun jika dia malas beribadah, maka Allah telah menghinakan dia. Dan demikianlah musibah yang sebenarnya, tatkala seseorang terjauhkan dari ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berdoa:

وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا

“Ya Allah, Janganlah Engkau jadikan musibah yang menimpa kami dalam urusan agama kami.” (HR Tirmidzi no.3502)

Kemudian Allah berfirman:

  1. كَلَّا ۖ بَل لَّا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ

“Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim”

“Sekali-kali tidak!”, yaitu Allah membantah cara berpikir orang kafir bahwasanya kalau kaya dimuliakan, kalau miskin dihinakan. Karena harta bukanlah ukuran kemuliaan dan kehinaan. Seseorang itu bisa mulia baik dia kaya maupun miskin. Sebagaimana apa yang ada pada para Nabi, diantara mereka ada yang kaya ada pula yang miskin, namun itu tidak mempengaruhi kadar kemuliaan mereka. Diantara sahabat ada pula yang kaya dan ada juga yang miskin, namun itu semua tidak mengurangi status mereka sebagai pendamping Nabi. Akan tetapi seseorang bisa mulia dengan keimanan dan ketakwaan, adapun hartanya dia gunakan sebagai sarana untuk bertakwa bukan menjadi tujuan.

Cara berpikir demikian adalah cara berpikir orang kafir, kemuliaan dan kehinaan berdasarkan harta. Sehingga mereka tidak memuliakan anak-anak yatim. Karena tujuan mereka adalah dunia dan dunia. Jika mereka bersedekah maka hartanya akan berkurang, jika hartanya berkurang maka kemuliaannya akan berkurang. Atau bahkan mereka karena tamaknya dengan dunia yang dianggap sebagai barometer kemuliaan sehingga mereka memakan harta anak yatim.[1]

Allah berfirman:

  1. وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ

“Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin”

Demikianlah keadaan orang kafir, tidak ada keinginan untuk saling memotivasi agar memberi makan fakir miskin. Karena mereka adalah orang pelit yang tujuannya hanyalah dunia.

  1. وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَّمًّا

“Sedangkan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang haram)”

Ibnu Az-Zaid berkata :

الْأَكْلُ اللَّمُّ الَّذِي يَأْكُلُ كُلَّ شَيْءٍ يَجِدُهُ، لَا يَسْأَلُ عَنْهُ أَحَلَالٌ هُوَ أَمْ حَرَامٌ؟ وَيَأْكُلُ الَّذِي لَهُ وَلِغَيْرِهِ

“أَكْلًا لَّمًّا yaitu yang memakan segala sesuatu yang ia dapati, ia tidak bertanya tentang harta yang ia dapati (di tangannya) apakah halal ataukah haram. Ia juga memakan miliknya dan milik orang lain” (Tafsir Al-Qurthubi 8/422)

Demikianlah keadaan orang kafir, tidak peduli yang penting dapat uang yang berlimpah. Baik dengan cara yang benar atau cara yang bathil. Kata mereka, harta yang halal adalah harta yang di tangan, harta yang haram adalah harta yang tidak ada di tangan. Semua harta yang sampai di tangan bagaimana pun caranya maka itu halal. Mereka memakan harta warisan yang bukan hak mereka, ini semua karena tamak terhadap dunia.

  1. وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا

“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan”

Ini adalah sifat-sifat umum pada orang kafir, dan demikian pula sifat manusia secara asalnya yaitu mencintai harta. Terlebih harta tersebut diraih dengan susah payah, dengan membanting tulang, dengan mengeluarkan keringat, kemudian setelah mendapatkannya lalu diperintahkan untuk diinfakkan, maka itu adalah hal yang sangat berat. Padahal harta tersebut tidak akan dibawa mati, hakikat harta kita adalah yang diinfakkan. Dalam suatu hadits tatkala disembelih seekor kambing kemudian Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyuruh istri-istrinya untuk membagikan (daging) kambing tersebut kepada orang lain. Maka setelah dibagikan (daging) kambing tersebut Nabi bertanya kepada ‘Aisyah:

مَا بَقِيَ مِنْهَا؟ قَالَتْ مَا بَقِيَ مِنْهَا إِلَّا كَتِفُهَا قَالَ بَقِيَ كُلُّهَا غَيْرَ كَتِفِهَا

“Wahai ‘Aisyah, bagian mana dari kambing tersebut yang masih tersisa?” Maka ‘Aisyah berkata: “Tidak ada yang tersisa kecuali hanya bagian pundak dari kambing.” Maka Nabi mengatakan: “Seluruh kambing tersisa kecuali pundak yang tersisa.” (HR. Tirmidzi no. 2470)

Artinya adalah semua yang sudah dibagikan itulah yang tersisa di akhirat, sedangkan yang yang belum dibagikan itu yang tidak tersisa di akhirat. Kalau kita ingin menabung yang pasti aman dan pasti tersisa maka menabunglah dengan cara bershadaqah.

Kemudian Allah berfirman:

  1. كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا

“Sekali-kali tidak! Apabila bumi diguncangkan berturut-turut (berbenturan)”

  1. وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا

“Dan datanglah Tuhanmu sedang malaikat berbaris-baris

Kata para ulama, Allah akan datang ketika melaksanakan persidangan. Dan kejadian ini terjadi setelah semua manusia berkumpul di padang mahsyar di bawah matahari yang berjarak hanya 1 mil dari kepala mereka dan berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Persidangan akan ditegakkan setelah Allah mengabulkan syafaat udzma dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam. Kemudian datanglah Allah untuk melakukan persidangan terhadap seluruh manusia.

Kemudian Allah berfirman:

  1. وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ ۚ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنسَانُ وَأَنَّىٰ لَهُ الذِّكْرَىٰ

“Dan pada hari itu diperlihatkan Neraka Jahannam. Pada hari itu sadarlah manusia, tetapi tidak berguna lagi baginya kesadaran itu”

Setelah hari perhitungan dan penimbangan, didatangkanlah neraka jahannam. Dalam suatu hadist, dari Abdullah bin Mas’ud dia berkata, Rasulullah bersabda:

يُؤْتَى بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لَها سَبْعُوْنَ أَلْفِ زَمامٍ، مَعَ كُلِّ زَمامٍ سَبْعُوْنَ أَلْفِ مَلَكٍ يَجُرُّوْنَها

“Jahannam akan didatangkan pada hari itu dan dia mempunyai 70.000 tali kekang, dan setiap tali kekang akan ditarik oleh 70.000 malaikat.” (HR. Muslim no. 2842)

Hadist ini menunjukkan bahwa neraka jahannam itu sangat besar, sampai-sampai membutuhkan 4 milyar 900 juta malaikat untuk menariknya, dan masing-masing ukuran malaikat tidak ada yang mengetahui besarnya kecuali Allah. Bahkan neraka jahannam selalu meminta agar ditambahkan penghuni ke dalamnya. Allah berfirman tentang perkataan neraka jahannam:

يَوْمَ نَقُولُ لِجَهَنَّمَ هَلِ امْتَلَأْتِ وَتَقُولُ هَلْ مِن مَّزِيدٍ

“(Ingatlah) pada hari (ketika) Kami bertanya kepada Jahannam, ‘Apakah kamu sudah penuh?’ Ia menjawab, ‘Masih adakah tambahan?’” (QS Qaf : 30)

Ini karena saking begitu luasnya neraka jahannam itu. Dan neraka jahannam nanti bisa melihat dan berbicara, neraka jahannam marah dan ingin segera menelan calon penghuninya. Allah berfirman:

إِذَا رَأَتْهُم مِّن مَّكَانٍ بَعِيدٍ سَمِعُوا لَهَا تَغَيُّظًا وَزَفِيرًا

“Apabila ia (neraka) melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar suaranya yang gemuruh karena marahnya.” (QS Al-Furqan : 12)

Kemudian Allah berfirman:

  1. يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Dia mengatakan, ‘Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini’”

Maka pada hari tersebut setiap manusia akan mengingat seluruh perbuatan berupa kebaikan dan keburukan yang pernah dia lakukan. Namun mengingat itu semua tiada berguna lagi, yang bersisa hanyalah penyesalan. Bahkan para ulama berkata bahwasanya yang menyesal bukan hanya orang-orang yang diadzab tetapi termasuk orang-orang mukmin, dia merasa ibadah-ibadah yang dia kerjakan kurang banyak.

Ibnu Katsir berkata -:

يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي: يَعْنِي يَنْدَمُ عَلَى مَا كَانَ سَلَفَ مِنْهُ مِنَ الْمَعَاصِي -إِنْ كَانَ عَاصِيًا-وَيَوَدُّ لَوْ كَانَ ازْدَادَ مِنَ الطَّاعَاتِ -إِنْ كَانَ طَائِعًا

“Firman Allah : (Dia mengatakan, ‘Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini’) yaitu dia menyesal atas apa yang dulu ia kerjakan (di dunia), kalau ia seorang pelaku maksiat maka ia menyesali kemaksiatan-kemaksiatan yang pernah ia lakukan. Jika ia seorang yang ta’at maka ia berangan-angan kalau seandainya ia menambah ketaatannya” (Tafsir Ibnu Katsir 8/389)

Muhammad bin Abi Úmairoh radhiallahu ánhu berkata :

لَوْ أَنَّ عَبْدًا خَرَّ عَلَى وَجْهِهِ مِنْ يَوْمِ وُلِدَ، إِلَى أَنْ يَمُوتَ هَرَمًا فِي طَاعَةِ اللهِ، لَحَقَّرَهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ، وَلَوَدَّ أَنَّهُ رُدَّ إِلَى الدُّنْيَا كَيْمَا يَزْدَادَ مِنَ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ

“Jika seorang hamba tersungkur di atas wajahnya sejak lahir hingga meninggal karena menghabiskan waktu dalam ketaatan kepada Allah maka pada hari itu ia akan merasa sedikit amal perbuatannya, dan sungguh ia akan berangan-angan seandainya ia dikembalikan lagi ke dunia agar ia bisa menambah pahala dan ganjaran”(Atsar riwayat al-Imam Ahmad dalam musnadnya no 17650 dengan sanad yang shahih)

Orang-orang kafir sejak dimasukkan ke kuburan sudah menyesal, kemudian diperlihatkan neraka jahannam mereka semakin menyesal, dan ketika dimasukkan ke dalam neraka jahannam maka penyesalannya semakin bertambah lagi, namun penyesalan tersebut tidak ada faiedahnya lagi. Allah berfirman tentang penyesalan mereka:

وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ ۚ

“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, ‘Ya Tuhan kami,, keluarkanlah kami (dari neraka), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan, yang berlainan dengan yang telah kami kerjakan dahulu.’” (QS Fathir : 37)

Kemudian Allah berfirman:

  1. فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ

“Maka pada hari itu tidak ada seorang pun yang mengadzab seperti adzab-Nya (yang adil)”

Karena adzabnya Allah sangat pedih, tidak ada yang sanggup menyamainya. As-Smaáani berkata :

لَا يُعَذِّبُ أَحَدٌ فِي الدُّنْيَا بِمثل مَا يُعَذِّبُهُ اللهُ فِي الْآخِرَة

“Tidak seorangpun di dunia yang menyiksa seperti siksaan Allah di akhirat”(Tafsir As-Samáani 6/223)

  1. وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ

“Dan tidak ada seorang pun yang mengikat (dengan belenggu-belenggu di neraka jahnnam) seperti ikatan-Nya”

Kedua ayat di atas juga dalam qiroáh yang lain dengan memfathah yaitu (فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُعَذَّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ) dan (وَلَا يُوثَقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ) yang artinya : “Tidak ada seorangpun yang disiksa seperti siksaannya (yaitu si kafir) dan tidak seorangpun yang dibelenggu seperti dibelenggunya (si kafir)” (lihat Tafsir As-Smaáani 6/223)

Kemudian Allah menyebutkan tentang orang-orang beriman, Allah berfirman:

  1. يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ

“Wahai jiwa yang tenang!”

Yaitu yang tenang dengan keimanannya kepada Allah beserta hari pembalasan-Nya, yang yakin dengan janji Allah akan pahala dan ganjaran pada hari akhirat, yang tidak terbelenggu dengan ketamakan dunia (lihat Tafsir al-Qurthubi 20/57)

Ada pula yang berpendapat bahwa ini adalah perkataan malaikat kepada orang-orang beriman tatkala akan meninggal dunia.

  1. ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya”

ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ  “Kepada Rabbmu”yaitu “kepada Tuhanmu”, maksudnya adalah menuju surga, sebagaimana firman Allah :

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ (54) فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ (55)

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa di dalam taman-taman (surga) dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa”(QS Al-Qomar 54-55)

Yang hal ini dicuapkan oleh malaikat kepada ruh orang beriman tatkal akan meninggal dunia dengan memberi kabar gembira kepadanya tentang surga.

Dan ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “Kepada Rabbmu”yaitu “Kepada Pemilimmu wahai ruuh, yaitu jasadmu”, yang ini diucapkan ketika hari kebangkitan ketika ruh-ruh dikembalikan kepada jasad (Lihat At-Tahriir wa At-Tanwiir 30/342)

رَاضِيَةً Yaitu dengan hati yang ridho dan senang dengan pahala dan ganjaran yang Allah berikan kepadanya. Karena semua yang ia cita-citakan dan impikan terwujudkan pada hari itu. Dan مَّرْضِيَّةً (diridhoiNya) yaitu tambahan pujian kepada jiwa tersebut disertai penekanan akan tambahan karunia dan ganjaran kepadanya. Karena bukan sekedar dia yang senang bahkan Robbnya juga rido kepadanya dan akan memberi tambahan ganjaran kepadanya (lihat At-Tahriir wa at-Tanwiir 30/343)

  1. فَادْخُلِي فِي عِبَادِي

“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku

Yaitu hamba-hambaKu sholihin. Kata para ulama, ini adalah kabar gembira bagi para penghuni surga bahwasanya dia tidak masuk surga sendiri.

  1. وَادْخُلِي جَنَّتِي

“Dan masuklah ke dalam surga-Ku

Sebelumnya Allah menggunakan dhomir al-ghoib (kata ganti orang ketiga) maka pada ayat ini Allah menggunakan dhomir al-mutakallim (kata ganti orang pertama) sebagai bentuk tambahan pemuliaan.

Allah juga tidak berkata فَادْخُلِي جَنَّتِي فِي عِبَادِي “Masuklah surga bersama hamba-hambaKu”, akan tetapi Allah mengkhususkan penyebutan sang jiwa secara sendirian dengan berkata وَادْخُلِي جَنَّتِي “Masuklah engkau ke surgaKu” agar menambah kebahagiaannya, seakan-akan ia sangat spesial dengan mendapat perhatian khusus (lihat At-Tahriir wa at-Tanwiir 30/344)

[1] Ada dua pendapat ulama tentang makna “tidak memuliakan anak yatim”, yaitu (1) tidak berbuat baik kepada mereka dan (2) memakan harta mereka (lihat Tafsir As-Sam’aani 6/221)


Artikel asli: https://firanda.com/3685-surat-al-fajr-tafsir-juz-amma.html